Saat kau menganggap sesuatu itu ada,

yang nyatanya tidak…

dan saat orang berpikir kau gila,

namun kau pikir sebaliknya…

Apa yang terjadi?

Itulah dunia ini yang penuh paradox.

Dimana dalam perspektif yang sempit

kita berusaha mencari arti.

Berangkat dari keterbatasan tersebut

diperlukan ruang yang tidak terbatas.

Ruang tersebut penuh dengan privasi

dimana semuanya mungkin terjadi.

Kenapa tidak?

Semuanya ternyata memang mungkin terjadi.

Ayo, gunakan imajinasimu…

Siapa Pun Presidennya, yang Penting Rakyat Miskin Sejahtera

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, rakyat miskin tampaknya tidak mempermasalahkan kriteria presiden. Bagi mereka, siapa pun yang menjadi presiden yang penting memperhatikan kesejahteraan rakyat miskin.

"Terlebih melalui program-program yang menyentuh kehidupan sehari-hari mereka," kata Peneliti STKS Dr Carolina Nitimiharjo dalam Jumpa Pers Isyarat Rakyat Miskin untuk Memimpin Bangsa Masa Depan di Jakarta, Senin (29/6).

Hal itu tampak dari, lanjut Carolina, 51,77 persen responden ternyata tidak memedulikan apakah calon presiden lulusan SMA, S-1 atau di atas S-1. "Yang penting bisa memimpin bangsa," ungkap Carolina.

Mayoritas responden yang berjumlah 70,14 persen, ia menambahkan, juga menyatakan sikap siapa pun yang menjadi presiden entah dari kalangan militer atau sipil sekali lagi yang terpenting bisa memimpin dan menyejahterakan mereka.

Menurut Carolina, indikator lain dapat juga dilihat beberapa program antikemiskinan yang dilancarkan pemerintah terbukti bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. "Ada 36,92 persen responden yang merasakan manfaat BLT, 20,55 persen merasakan Jamkesmas, dan 27,29 persen untuk program Raskin," jelasnya.

Lebih jauh Pembantu Ketua I Bidang Akademik STKS Edi Suharto PhD menyatakan bahwa penelitian ini dilakukan sudah agak lama, yakni pada April-Mei 2009. Metode yang dipakai berdasar studi kasus yang berjumlah 623 buah, dengan asumsi penduduk miskin Indonesia relatif homogen.

Penyebaran kasus diambil dari Indonesia Barat dan Tengah berdasar variasi maksimum. Teknik penelitian yang digunakan adalah melalui teknik wawancara dengan pertanyaan gabungan terbuka dan tertutup, observasi, dan studi dokumentasi.

Untuk analisis digunakan analisis kualitatif dan kuantitaf. Dana yang dipakai adalah murni dari anggaran STKS sendiri. "Penelitian ini tidak dimaksudkan memberi gambaran nasional. Fokusnya pada aspirasi orang miskin. Kami terbentur pada masalah dana," ungkap Edi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar