Saat kau menganggap sesuatu itu ada,

yang nyatanya tidak…

dan saat orang berpikir kau gila,

namun kau pikir sebaliknya…

Apa yang terjadi?

Itulah dunia ini yang penuh paradox.

Dimana dalam perspektif yang sempit

kita berusaha mencari arti.

Berangkat dari keterbatasan tersebut

diperlukan ruang yang tidak terbatas.

Ruang tersebut penuh dengan privasi

dimana semuanya mungkin terjadi.

Kenapa tidak?

Semuanya ternyata memang mungkin terjadi.

Ayo, gunakan imajinasimu…

Ketika Anarkisme Semakin Membudaya

Ada satu kosa kata bahasa Melayu (baca: bahasa Indonesia) yang cukup terkenal di lingkup internasional, paling tidak lantaran kosa kata tersebut termaktub dalam beberapa ensiklopedi, di antaranya Encyclopaedia Americana. Kosa kata itu adalah: “Amuk” (orang Bule menulisnya: “Amok”). Sebuah kata yang menunjukkan betapa orang Indonesia itu, sejak dulu, gampang marah. Dan, kalau sudah marah, mereka akan mengamuk, menyerang dan membunuh siapa saja yang berada di dekatnya.

Amuk bisa dilakukan secara individual, bisa juga secara berkelompok alias main keroyokan alias tawuran (amuk massa). Orang-orang Portugis dan Belanda yang pernah menjajah negeri ini, sudah sangat sering dan bahkan sudah sangat terbiasa menyaksikan peristiwa Amuk yang dilakukan kaum pribumi. Mereka pun menceritakan tradisi Amuk ini secara turun-temurun, sebagai peringatan kepada anak-cucu mereka agar berhati-hati bila berkunjung ke Indonesia. Sebab salah langkah sedikit saja bisa menjadi sasaran Amuk.

Akhirnya, setiap kali mereka ingat Indonesia, mereka pun akan ingat kebiasaan kaum pribumi melakukan tindakan Amuk (mengamuk). Sehingga wajarlah bila kemudian kata Amuk pun masuk ke dalam ensiklopedi mereka. Dengan kata lain, tuan-tuan dan nyonya-nya dari negeri Barat, sejak zaman baheula sudah sangat mafhum bahwa orang Indonesia itu sangat akrab dengan anarkisme.

Tentunya tidak perlu malu bila kata Indonesia dianggap lebih asosiatif dengan kata Amuk, bukan kata Makmur, Sentosa, Indah atau Damai. Munculnya frasa “Indonesia yang Makmur, Sentosa, Damai dan Indah”, itu berkat upaya Para Bapak Bangsa yang ingin mengangkat citra Indonesia di mata dunia, agar Indonesia tidak hanya dikenal keburukannya. Tetapi Makmur, Damai dan Indah, adalah kata-kata yang lebih mengandung harapan, ketimbang kenyataan. Sedangkan Amuk, adalah kenyataan yang sering kita saksikan.

Salah satu buktinya, kita saksikan beberapa hari lalu. Ketua DPRD Sumatera Utara H. Abdul Aziz Angkat, tewas dikeroyok massa yang menyerang, mengamuk di ruang sidang paripurna. Anarkisme ini terjadi lantaran keinginan para pengunjuk rasa yang mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli, tidak ditanggapi oleh para anggota dewan.

Anarkisme massa, yang selama ini “hanya” berlangsung di jalan-jalan, tampaknya sudah mulai masuk ke ruang-ruang yang seharusnya dihormati, seperti ruang sidang paripurna DPRD. Di ruang-ruang seperti itu, keributan yang terjadi semestinya hanya sebatas perang mulut, adu argumentasi, bukan kekerasan fisik. Tetapi tampaknya, banyak di antara kita, yang lebih suka menyelesaikan persoalan dengan kekerasan fisik, bukan melalui dialog dan musyawarah. Kecenderungan ini semakin memperkuat kesan bahwa Amuk alias anarkisme, memang sudah membudaya di negeri kita.

Begitu banyak rangkaian kekerasan yang memakan korban jiwa, terjadi di negeri kita, dan begitu cepat kita melupakannya. Tindakan pengusutan terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, tidak pernah selesai dengan tuntas. Bahkan tak sedikit di antaranya yang berakhir dengan nasib “dipetieskan”. Pemerintah (termasuk aparat keamanan) masih terkesan tidak tegas dalam menindak para pelaku anarkisme. Bahkan ada beberapa kasus anarkisme, yang tampaknya memang sengaja “dibiarkan”.

Jika kasus tewasnya almarhum Abdul Aziz Angkat tidak diselesaikan setuntas-tuntasnya dan transparan, bukan tak mungkin kita akan menyaksikan lagi kasus-kasus serupa di hari-hari mendatang. Bahkan mungkin lebih parah dari itu. Dan, lama-kelamaan, kita akan menjadi imun dengan rangkaian kekerasan demi kekerasan. Atau, jangan-jangan, kita memang sudah imun. Mengerikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar