Saat kau menganggap sesuatu itu ada,

yang nyatanya tidak…

dan saat orang berpikir kau gila,

namun kau pikir sebaliknya…

Apa yang terjadi?

Itulah dunia ini yang penuh paradox.

Dimana dalam perspektif yang sempit

kita berusaha mencari arti.

Berangkat dari keterbatasan tersebut

diperlukan ruang yang tidak terbatas.

Ruang tersebut penuh dengan privasi

dimana semuanya mungkin terjadi.

Kenapa tidak?

Semuanya ternyata memang mungkin terjadi.

Ayo, gunakan imajinasimu…

Pemilu dalam Krisis Ekonomi

Tahun ini kita akan menyelenggarakan dua jenis pemilihan umum. Yang pertama adalah pemilihan umum untuk mengisi anggota badan legislatif seperti DPR, DPD, dan DPRD. Yang kedua adalah pemilihan umum untuk memilih presiden/wakil presiden yang akan mengisi institusi negara kepresidenan. Dua pemilihan umum ini berlangsung ketika kita mulai merasakan dampak yang makin berat akibat krisis ekonomi global.

Konon dampak krisis ekonomi global baru akan terasa di Indonesia sekitar semester dua, atau kuartal tiga tahun ini. Jumlah penganggur yang sudah pada angka di atas 10 juta dan orang miskin pada angka di atas 30 juta akan bertamban. Ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi melemah, diperkirakan di bawah lima persen. Padahal untuk bisa menyerap tambahan angkatan kerja baru dan pengangguran yang sudah ada dibutuhkan pertumbuhan ekonomi di atas delapan persen..

Pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah karena melemahnya permintaan akan barang dan komoditas ekspor Indonesia oleh negara-negara maju. Amerika Serikat dan Jepang, termasuk China, adalah negara tujuan ekspor Indonesia. Ketiga negara itu tengah mengalami krisis. Di negara-negara itu jumlah penganggur bertambah, begitu pula jumlah orang miskin. Banyak perusahaan gulung tikar dan menyatakan diri bangkrut.

Karena itu ada yang mengatakan krisis yang kini dan akan dialami Indonesia akan lebih berat dibanding krisis ekonomi pada 1998. Sepuluh tahun lalu, kita mengalami krisis ekonomi, bahkan berlanjut ke krisis politik dan keamanan. Ketika itu tiba-tiba jumlah orang miskin dan penganggur juga bertambah. Tapi karena negara-negara tujuan ekspor Indonesia tidak mengalami krisis, barang dan komoditas Indonesia masih laku. Karena itu, tekanan kiris dalam negeri tidak terasa terlalu berat. Ketika itu bahkan jumlah orang kaya baru bertambah di daerah-daerah penghasil komoditas ekspor.

Sekarang krisis ekonomi yang kita alami datang dari dua sisi. Dari dalam negeri adalah kondisi seperti tahun 1998: rendahnya investasi, melemahnya rupiah, tingginya suku bunga, dan ambruknya pasar modal. Dari luar negeri adalah sesuatu yang baru: melemahnya permintaan akan barang dan komoditas Indonesia seperti karet, sawit, kakao, tekstil dan bahan tekstil, serta alas kaki. Barang dan komoditas ini terbilang menyerap banyak tenaga kerja karena berada di sektor pertanian/perkebunan dan manufaktur.

Pemerintah yang sekarang sudah punya program untuk melakukan stimulus ekonomi. Program itu sudah disetujui oleh DPR. Sekarang adalah waktu untuk implementasi. Tapi justru ketika tenaga dan perhatian diperlukan untuk menyukseskan program stimulus ini, banyak pihak yang berkepentingan dan bertanggungjawab atasnya harus pula memecahkan konsentrasi dan perhatiannya pada pemilihan umum. Dalam konteks inilah kita merasa prihatin ketika presiden dan wakil presiden yang sekarang menyatakan diri siap bertarung dalam pemilihan presiden.

Secara verbal dan formal, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M. Jusuf Kall, menyatakan akan tetap menyelesaikan kontrak politik mereka secara tuntas, yakni melaksanakan tugas mereka sebagai presiden dan wakil presiden secara baik sampai terpilih presiden dan wakil presiden yang baru. Tapi karena keduanya ada dalam satu institusi, yakni institusi kepresidenan, rasanya ini tidak elok. Rivalitas terjadi dalam satu institusi, meski bukan sekarang setidaknya nanti. Wakil presiden secara formal hukum atau konstitusi kita memang pembantu presiden. Tapi dalam praktik, wakil presiden sejak dijabat JK bukanlah wakil presiden sejenis ban serap. Dia adalah wakil presiden yang berkeringat ketika sama berjuang dengan SBY dalam pemilihan 2004.

Bulan-bulan mendatang kita akan melihat sejauh mana kenegarawan keduanya. Betulkah keduanya mengutamakan kepentingan negara lebih dulu, kemudian partai/kelompok, setelah itu baru pribadi/keluarga? Siapa di antara keduanya yang sungguh-sungguh, tulus, dan ikhlas menjalankan amanah rakyat akan terlihat dari gerak langkah dan sepak terjuang keduanya dalam mengurus negara dan partai politik pengusungnya? Kalau ini gagal mereka tunjukkan maka kita mungkin kelak akan kembali mengalami tidak adanya krisis ekonomi, tapi juga krisis politik seperti sepuluh tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar